C. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
1 . Demokrasi di Masa Orde Lama
a. Masa Demokrasi Parlementer
Pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa kejayaan demokrasi karena
hampir semua unsur demokrasi dapat ditemukan dalam perwujudannya. Unsur-
unsur itu antara lain adalah akuntabilitas politis yang tinggi, peranan yang sangat
tinggi pada parlemen, pemilu yang bebas, dan terjaminnya hak politik rakyat.
Cara kerja sistem pemerintahan parlemen, antara lain adalah sebagai berikut.
1 . Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh badan pengadilan yang bebas;
2 . Presiden hanya berperan sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan,
kepala pemerintahan dijabat oleh seorang perdana menteri;
3 . Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh kabinet/dewan menteri, yang dipimpin
oleh seorang perdana menteri-kabinet dibentuk dengan bertanggung jawab
kepada DPR;
4 . Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR yang dibentuk melalui
pemilu multi-
partai. Partai politik yang menguasai mayoritas DPR membentuk kabinet
sebagai penyelenggara pemerintahan negara;
5 . Apabila kabinet bubar, presiden
akan menunjuk formatur kabinet untuk
menyusun kabinet baru;
6 . Apabila DPR
mengajukan mosi tidak
percaya lagi kepada
kabinet yang baru,
DPR dibubarkan dan diadakan pemilihan umum;
7 . Apabila DPR menilai kinerja menteri/beberapa menteri/kabinet kurang baik,
DPR dapat memberi mosi tidak percaya dan menteri, para menteri atau
kabinet yang diberi mosi tidak percaya harus mengundurkan/membubarkan
diri.
Hal-hal negatif yang terjadi selama berlakunya sistem parlementer adalah
sebagai berikut.
1 . Terjadi ketidakserasian hubungan dalam tubuh angkatan bersenjata pasca-
peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu sebagian anggota ABRI condong ke kabinet
Wilopo, sebagian lagi condong ke Presiden Soekarno.
2 . Masa kerja rata-rata kabinet yang pendek menyebabkan banyak kebijak-
sanaan jangka panjang pemerintah yang tidak dapat terlaksana.
3 . Telah terjadi
perdebatan terbuka antara Presiden Soekarno dan tokoh
Masyumi, Isa Anshory, mengenai
penggantian Pancasila
dengan dasar negara
yang lebih Islami tentang apakah akan merugikan umat beragama lain atau
tidak.
4 . Masa kegiatan kampanye pemilu yang berkepanjangan mengakibatkan
meningkatnya ketegangan di masyarakat.
5 . Pemerintah pusat mendapat tantangan dari daerah-daerah seperti pembe- rontakan
PRRI dan Permesta.
Selain hal-hal negatif
tersebut menurut Herbert Feith juga
terdapat hal-hal positif pada masa demokrasi
parlementer, antara lain adalah sebagai berikut.
1 . Sedikit sekali terjadi konflik di antara umat beragama.
2 . Jumlah sekolah bertambah dengan pesat yang mengakibatkan peningkatan
status sosial yang cepat
pula.
3 . Pers bebas sehingga banyak variasi isi media massa.
4 . DPR berfungsi dengan baik.
5 . Minoritas Tionghoa mendapat perlindungan dari pemerintah.
6 . Badan-badan peradilan menikmati kebebasan dalam menjalankan fungsinya,
termasuk dalam kasus yang menyangkut pimpinan
militer, menteri,
dan
pemimpin-pemimpin partai.
7 . Kabinet dan ABRI berhasil mengatasi pemberontakan-pemberontakan seperti
RMS di Maluku dan DI/TII di Jawa Barat.
Namun, proses demokrasi
masa parlementer telah dinilai gagal
dalam menjamin stabilitas politik, kelangsungan
pemerintahan, dan menciptakan kese- jahteraan rakyat. Kegagalan tersebut disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain
sebagai berikut.
1 . Tidak ada anggota konstituante yang bersidang dalam menetapkan dasar
negara. Hal ini memicu Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
2 . Landasan sosial ekonomi rakyat masih rendah.
3 . Dominannya politik aliran, artinya
berbagai golongan politik
dan partai politik
sangat mementingkan kelompok atau dirinya sendiri daripada kepentingan
bangsa.
b. Masa demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin muncul
dari ketidaksenangan Presiden
Soekarno terhadap partai-partai politik yang dinilai
lebih mementingkan kepentingan partai dan ideologinya masing-masing daripada kepentingan yang lebih luas. Presiden
Soekarno menekankan pentingnya
peranan pemimpin dalam proses politik
dan perjuangan revolusi Indonesia yang belum selesai.
Menurut ketetapan MPRS
No. VIII/MPRS/1965
pengertian dasar demokrasi terpimpin
adalah kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
yang berintikan musyawarah untuk
mufakat secara gotong royong
di antara
semua kekuatan nasional yang
progresif revolusioner dengan
berporoskan Nasakom. Ciri-ciri demokrasi terpimpin
adalah sebagai berikut.
1. Terbatasnya peran partai politik.
2 . Berkembangnya pengaruh PKI dan militer sebagai kekuatan sosial politik di
Indonesia.
3 . Dominannya
peran presiden, yaitu Presiden Soekarno, yang menentukan
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pada demokrasi
terpimpin terdapat penyimpangan dari prinsip
negara hukum dan negara demokrasi
menurut Pancasila dan UUD 1945,
antara lain adalah sebagai berikut.
1 . Pelanggaran prinsip ”kebebasan kekuasaan kehakiman”
Dalam UU No. 19 Tahun 1964 ditentukan
bahwa demi kepentingan revolusi,
presiden berhak untuk mencampuri proses peradilan. Hal ini bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga mengakibatkan kekuasaan kehakiman dijadikan
alat oleh pemerintah untuk menghukum pemimpin politik yang menentang
kebijakan pemerintah.
2 . Pengekangan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik
Hal tersebut terjadi terhadap kebebasan pers. Saat itu banyak media massa
yang dibatasi dan tidak boleh menentang kebijakan pemerintah.
3 . Pelampauan
batas wewenang
Presiden banyak membuat penetapan yang melebihi kewenangannya tanpa
berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR.
4 . Pembentukan lembaga negara ekstrakonstitusional
Presiden membentuk lembaga kenegaraan di luar yang disebut UUD 1945
misalnya Front Nasional yang ternyata dimanfaatkan oleh pihak komunis
untuk mempersiapkan pembentukan negara komunis di Indonesia.
5 . Pengutamaan fungsi presiden.
Pengutamaan fungsi presiden tampak
dalam hal-hal berikut.
a. Dalam mekanisme kerja, jika MPR dan DPR, tidak berhasil mengambil putusan, persoalan tersebut dise-rahkan kepada presiden
untuk memutuskan.
b . Pimpinan
MPR, DPR, dan lembaga- lembaga negara lainnya
diberi ke- dudukan sebagai
menteri sehingga mereka menjadi bawahan presiden. Padahal menurut UUD 1945 MPR adalah lembaga
yang membawahkan presiden dan berkedudukan
lebih tinggi dari presiden, sedangkan lembaga-lembaga negara yang lain (DPR, BPK, dan MA) sejajar
dengan presiden.
c. Pembubaran
DPR oleh
presiden terjadi karena DPR menolak
menyetujui RAPBN yang diusulkan pemerintah. Padahal UUD 1945 mengatur bahwa
presiden tidak dapat membubarkan DPR dan jika DPR menolak anggaran
yang diajukan, pemerintah
menggunakan anggaran tahun sebelumnya.
Akhir dari demokrasi
terpimpin berawal dari pemberontakan G 30 S/PKI, ketika Presiden Soekarno gagal dalam mempertahankan keseimbangan antara
kekuatan yang ada di sisinya, yaitu PKI dan militer. Demokrasi terpimpin berakhir dengan ditandai oleh
keluarnya Surat Perintah 11 Maret
1966 dari Presiden Soekarno
kepada Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.
2 . Demokrasi di Masa Orde Baru
Pelaksanaan demokrasi selama
masa demokrasi terpimpin adalah penyim-
pangan terhadap aturan dasar
hidup bernegara (Pancasila dan UUD
1945). Oleh sebab itu, Pemerintahan Orde Baru mengawali jalannya
pemerintahan dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Seluruh kegiatan pemerintahan
negara dan hidup bermasyarakat dan berbangsa harus dijalankan
sesuai dengan tata aturan yang
bersumber pada Pancasila dan UUD
1945. Namun, dalam perkembangannya Pemerintah Orde Baru mengarah
pada pemerintahan
yang sentralistis.
Lembaga kepresidenan menjadi pusat dari
seluruh proses politik dan menjadi
pembentuk dan penentu agenda nasional, pengontrol
kegiatan politik dan pemberi legacies bagi seluruh lembaga pemerintah
dan negara.
Kehidupan politik di masa Orde
Baru sama
dengan masa Orde Lama, yaitu terjadi penyimpangan-penyimpangan, antara lain
adalah sebagai berikut.
a. Pemberantasan hak-hak politik rakyat
Misalnya jumlah partai politik yang dibatasi hanya tiga partai politik, yakni
PPP, Golkar, dan PDI. Pegawai negeri dan ABRI diharuskan
untuk men-
dukung partai penguasa, yaitu Golkar. Pertemuan-pertemuan politik harus
mendapat izin penguasa. Ada perlakuan diskriminatif terhadap anak
keturunan orang yang terlibat G 30 S/PKI . Para pengkritik pemerintah
dikucilkan secara politik bahkan diculik.
b . Pemusatan kekuasaan di tangan presiden
Presiden dapat mengendalikan berbagai lembaga negara seperti MPR, DPR,
dan MA. Anggota MPR yang diangkat
dari ABRI berada di bawah kendali
presiden, karena presiden merupakan panglima tertinggi ABRI. Selain itu,
seluruh anggota DPR/MPR harus lulus penyaringan yang diadakan
oleh aparat
militer.
c. Pemilu yang tidak demokratis
Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali penuh dengan kecurangan
dan ketidakadilan karena hak-hak parpol dan masyarakat pemilih telah
dimanipulasi untuk kemenangan Golkar.
d. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
Akibat dari penggunaan kekuasaan yang terpusat
dan tak terkontrol, korupsi,
kolusi, dan nepotisme tumbuh subur. KKN telah menjerumuskan bangsa ke
dalam krisis multidimensi berkepanjangan.
Pemerintahan Suharto yang
otoriter berakhir setelah gerakan mahasiswa
berhasil menekannya untuk mengundurkan
diri sebagai
presiden. Pernyataan pengunduran diri itu terjadi pada tanggal 21 Mei 1998. Adapun hal yang menjadi sebab-sebab kejatuhan Orde Baru adalah sebagai berikut.
1 . Terjadi krisis politik dan keruntuhan
legitimasi politik. Rakyat mulai kecewa dan
tidak lagi mempercayai
pemerintahan Orde Baru dan mengharapkan
adanya pemerintahan yang baru.
2 . Tidak bersatu
lagi pilar-pilar pendukung Orde Baru. Banyak menteri yang
tidak lagi mendukung pemerintahan.
Tentara
Nasional Indonesia (TNI) juga tidak
bersedia lagi menjadi alat kekuasaan Orde Baru.
3. Ekonomi nasional hancur yang ditandai oleh adanya krisis mata uang dan krisis
ekonomi yang tidak mampu ditanggulangi.
4. Muncul desakan semangat demokratis dari para pendukung demokrasi.
3 . Demokrasi di Masa Kini
Mundurnya Suharto ditandai
dengan naiknya B.J. Habibie sebagai presiden. B.J. Habibie menjadi presiden RI
yang ke-3 menggantikan Presiden Suharto
yang mengundurkan diri. Pergantian tersebut didasarkan pada pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan
bahwa jika presiden mangkat,
berhenti, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai habis waktunya.
Presiden B.J. Habibie
menyatakan bahwa pemerintahannya adalah peme-
rintahan transisional. Disebut masa transisi karena merupakan masa perpindahan
pemerintahan yang selanjutnya akan
dibentuk pemerintahan baru yang demokratis dan berdasarkan kehendak rakyat.
Antara tahun 1998
sampai tahun 1999 dianggap tahun
yang penuh gejolak dan diwarnai oleh kerusuhan di beberapa daerah, antara lain konflik di
Ambon dan Maluku, kerusuhan di
Aceh, dan kerusuhan dan pertentangan di wilayah
Timor Timur.
Pada tanggal 21 Oktober 1999, diselenggarakan pemilihan wakil presiden
RI. Calonnya ialah Megawati Soekarnoputri
dan Hamzah
Haz. Pemilihan
dilakukan dengan voting.
Hasilnya diperoleh Megawati memperoleh suara
terbanyak. Dengan demikian,
wakil presiden RI periode 1999–2004
ialah Megawati yang dilantik pada
21 Oktober
1999. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kedudukan
Abdurrahman Wahid beralih kepada Megawati dengan wakilnya Hamzah Haz karena adanya ketidakpuasan rakyat selama pemerintahan yang dipimpin
olehnya.
Pada tahun
2004 untuk pertama kalinya bangsa
Indonesia melaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung oleh rakyat. Pemilu
diikuti oleh 24 partai politik. Pemilu dilakukan
dalam tiga tahap. Pertama, pada 5 April
2004 dilaksanakan
pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi,
DPRD kota/
kabupaten, dan DPD.
Kedua, pada 5 Juli 2004 dilaksanakan
pemilihan presiden dan wakil presiden tahap
pertama. Ketiga, pada 20 September
2004 pemilihan presiden dan wakil presiden
tahap kedua. Hasil pemilihan tersebut menempatkan
pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai
presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2004–2009
No comments:
Post a Comment
PERATURAN BERKOMENTAR
1.di larang spam
2.berkomentarlah sesuai dengan topik
3.terimakasih atas komentar yang telah di terbitkan